Categories
Prosa

Catatan Pagi: Maaf

Pagi ini kutebus janji mengantar anakku Meysa ke sekolah. Dihari ke tiga ia memasuki kelas barunya (3b) pasca libur panjang kenaikan kelas.

Setelah sebelumnya kulewatkan dua moment yang kujanjikan: mengantarnya di hari pertama pembagian tempat duduk dan di hari pertama ia masuk ke kelas barunya.

Maaf ini menjadi penting, berawal dari betapa antusiasnya dia bercerita di siang itu.

Bercerita dia tentang kelas barunya, tentang nomor tempat duduknya, dan tentang aturan sekolah me-rolling siswa yang membuatnya sedikit bersedih karena dia tak lagi bersama sahabat karibnya Lucky dalam satu kelas.

Bercerita dia tentang sedikit kekecewaannya padaku bahwa di dua moment itu, aku tak bisa mengantar dan mendampinginya sebagaimana telah aku janjikan sebelumnya.

Bercerita juga dia tentang kekhawatirannya akan persaingan di kelas baru dengan teman-teman barunya, yang katanya adalah rata-rata anak ranking 3 besar di kelas sebelumnya.

Pun, maaf ini menjadi sangat penting ketika dengan kedewasaan-nya dia meminta maaf sebelumnya padaku bahwa dia tak bisa menjanjikan untuk meraih ranking 1 seperti biasa dia dapatkan di kelas sebelumnya. Dan bahwa dia hanya bisa berjanji bahwa dia akan berusaha.

Dia meminta maaf padaku bahkan disaat aku belum sempat mengucapkan maafku karena tak bisa menepati apa yang telah aku janjikan.

Tiba-tiba, dari luar terdengar: Meysa….!” (suara teman-temannya memanggil).

Seketika itu juga dia berlari, meninggalkanku dengan ceritanya yang kurasa belum selesai, dan yang sungguh masih ingin kudengarkan.

Sedetik kemudian, dari luar terdengar suara khasnya berpamitan sambil berlari : “Ayah….! A1 main ke tempat Marchel…!”

Seketika hening. Hanya ada aku dan ungkapan maafku yang belum sempat kusampaikan.

Untuk anakku Meysa, maaf…


1.Nama panggilan dan cara dia [Meysa] memanggil dirinya sendiri